SultraNetwork.com-Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan, Indonesia membutuhkan setidaknya sembilan satelit untuk bisa meningkatkan deteksi dini bencana secara akurat, cepat dan tepat.
Deputi Instrumentasi, Kalibrasi, Rekayasa dan Jaringan Komunikasi BMKG, Muhamad Sadly, dalam laman resmi bmkg.go.id mengatakan, Indonesia hingga kini belum memiliki satelit operasional indera jarak jauh (inderaja) yang berfungsi memantau wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat luas.
Baca Juga: 8 November 2022, KPU RI Bakal Gelar Rapat Pleno Penentuan Peluang Partai Politik Jadi Peserta Pemilu 2022
Menurut Sadly, Indonesia membutuhkan sedikitnya 9 satelit agar tidak ada informasi peringatan dini yang terlambat disampaikan kepada otoritas terkait dan masyarakat.
"Kita memerlukan 9 satelit untuk melakukan orbital dan tanpa jeda. Kalau hanya satu satelit kita butuh 100 menit jeda, sehingga tidak bisa dipakai untuk peringatan dini bencana. Itu sudah direncanakan ada 9 satelit mengorbit pada 2024 dan itu tidak ada jeda," katanya.
Baca Juga: Akhir Pekan, Harga Emas Meroket Rp 15.000: Berbanderol Rp 954.000 per Gram
Menurut dia, akan sangat sulit memantau Indonesia dengan melakukan patroli dengan pesawat terbang atau piranti terbang nirawak secara terus menerus di wilayah yang sangat luas karena akan menguras sumber daya manusia dan biaya.
"Tidak mungkin kita melakukan 'air borne' yang sangat mahal jatuhnya. Kita butuh satelit untuk monitoring secara berkelanjutan. Ini sudah waktunya kita wujudkan untuk memantau kondisi sumber daya alam dan kebencanaan di Tanah Air kita yang sangat membutuhkan, karena memiliki cakupan wilayah yang sangat luas sekali," katanya.
Baca Juga: 5 Peran ikonik Park Min Young di Berbagai Judul Drama Korea
Sadly lebih jauh mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki ancaman bencana kompleks, misalnya banjir, longsor, erupsi, gempa dan tsunami.
Karena itu lanjut Sadly, dalam melakukan pencegahan dan mitigasi multibencana tersebut tidak bisa ditangani dengan cara biasa, melainkan dengan terobosan, salah satunya lewat satelit pemantauan.
Baca Juga: 10 Twibbon Hari Guru Nasional 2022: Bingkai Foto Kreatif peringati HGN
"Salah satu teknologi yang perlu kita akselerasi, diimplementasikan di Indonesia adalah bagaimana memiliki satelit inderaja untuk kebencanaan. Saya pikir ini tidak terlalu sulit jika kita ingin bersatu. Kita bersatu wujudkan cita-cita ini, dan semua sudah ada tinggal kita bersinergi melakukan koordinasi dan sama-sama menyiapkan alokasi anggaran untuk digunakan secara bersama guna menanggulangi bencana-bencana yang ada di Tanah Air yang semakin meningkat," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa jika tidak menggunakan satelit, maka deteksi dini bencana akan sangat lama.
Baca Juga: Ex PM Pakistan Jadi Korban Percobaan Pembunuhan: Kena Tembak Tapi Selamat
Belum lagi saat bencana terjadi, terdapat potensi sejumlah infrastruktur di permukaan bumi seperti lumpuhnya akses listrik dan telekomunikasi.
Sadly menyimpulkan, hanya dengan satelit segala kendala telekomunikasi dapat diatasi sehingga mitigasi bencana dapat dilakukan secara seksama sehingga mampu menekan munculnya korban.
Baca Juga: Kawasan Danau Toba Diusulkan Jadi Wisata Kelas Dunia
"Terkait kebencanaan, perlu diketahui bahwa saat bencana terjadi baik bencana gempa bumi, tsunami, bencana-bencana hidrometeorologi lainnya, sistem telekomunikasi elektrik itu akan kolaps atau mati. Kita tidak bisa menggunakan komunikasi berbasis handphone dan sebagainya karena kolaps apalagi terjadi gempa besar seperti di Palu, tidak ada komunikasi yang bisa dilakukan. Bagaimana masyarakat bisa menyelamatkan diri kalau tidak ada komunikasi andal, sehingga diperlukan satelit berbasis komunikasi yang bisa digunakan saat terjadi gempa yang sangat kuat sekali, sehingga masyarakat bisa mendapat informasi untuk menyelamatkan diri," kata Sadly.
Ahli satelit asal Indonesia yang kini bekerja di Chiba University (Jepang), Prof Josaphat Tetuko Sri Sumantyo mengatakan, pembuatan satelit memerlukan proses yang panjang guna mendapatkan ide dan membangun modelnya.
Baca Juga: Pemerintah Indonesia Bakal Naikkan Cukai Rokok Tembakau dan Elektrik Hingga 12 Persen di Tahun 2023
Selanjutnya, kata dia, pembangunan satelit perlu membuat sensor "remote sensing", dites di laboratorium, dilakukan uji terbang dengan pesawat, kemudian dibangun kemudian diluncurkan ke orbit bumi.
Lanjut Sadly, deteksi bencana tidak bisa hanya dengan mengandalkan sensor yang dipasang di permukaan bumi karena tingkat akurasinya akan kalah dibandingkan tanpa kolaborasi menggunakan satelit.
Baca Juga: Hubungan Korea Selatan dan Korea Utara Kembali Memanas: Saling Tembak Rudal, Jepang Kena Imbas
"Kita perlu data akurat dalam mendeteksi bencana, tidak bisa sekadar mendeteksi bencana dengan sensor optik. Dalam setahun, kita ada hari benar-benar cerah kurang dari 3 bulan. Kalau kita pakai sensor dan pakai info permukaan tanah dan distribusi tanah untuk prediksi bencana kurang akurat," katanya.
Josaphat mengatakan, Indonesia dengan satelit yang memadai bisa memantau keadaan permukaan bumi secara realtime dan akurat.
Baca Juga: Penjelasan Lapan RI Soal Fenomena Waktu Tengah Hari Lebih Cepat pada 3 November 2022
"Kita bisa memantau secara realtime, kalau kita pantau angin topan tidak mungkin terbangkan pesawat," pungkasnya.